....

No idea exists in a vacuum. It is connected to related ideas, and to the real world, and to other people’s perspectives. Those connecting threads of context are where the vast creative potential of the human mind lies.

Rabu, 12 Desember 2007

Memahami Akar Ekonomi Kreatif

Sejak Presiden RI mengajak kita agar mulai mengembangkan ekonomi kreatif di bulan Juli 2007 yang lalu (klik), diatara pihak-pihak yang langsung melaju kencang, masih terlihat banyak yang bingung, binatang apakah ini? Apa beda Ekonomi Kreatif dan Industri Kreatif? Siapakah orang-orang yang terkait didalam perekonomian dan perindustrian berbasis kreatif ini?

Perlu ada suara dari Ekonom kita yang secara khusus membantu mendefinisikan ekonomi kreatif bagi Indonesia. Sambil menunggu, mari kita mencoba meraba-raba berdasarkan referensi yang ada.


EKONOMI KREATIF
Ekonomi kreatif adalah bagian dari sebuah anutan sistim ekonomi kontemporer (bila tidak ingin menyebut globalisasi/pasar bebas). Jadi apabila kita ingin berpastisipasi didalam ekonomi kreatif, maka kita harus sepakat akan sistimnya dulu:


  1. Sistim ekonomi (economic system) adalah perangkat-perangkat yang terkait dengan produksi, distribusi, konsumsi barang dan jasa, yang pengaturannya disepakati oleh para pelakunya.
  2. Sistim ekonomi terdiri dari manusia dan institusi (individu, perusahaan atau pemerintah) yang saling terhubung, termasuk juga sistim pengelolaan sumber daya produksi melalui perjanjian/kesepakatan (convention) atas kepemilikan (property).
  3. Kepemilikan seperti disebut diatas didalam ekonomi kreatif (versi barat) didominasi oleh kapitalisasi pengetahuan (knowledge capital) dan kapitalisasi kreatifitas (creative capital), yang bisa dimiliki (privatisasi) dan dieksploitasi kepemilikan individual (private property) melalui Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI).
  4. HKI adalah suatu bidang yang virtual (tidak ri'il), merupakan produk hukum (institution) dan konvensi internasional (convention) , sehingga penerapannya juga kondisional, tergantung kondisi undang-undang di Indonesia.
  5. Ekonomi sangatlah luas. Ekonomi memiliki sektor-sektor yang sudah lebih khusus, sektor ini disebut INDUSTRI. Dalam hal ini, disebut INDUSTRI KREATIF.

INDUSTRI KREATIF

...those industries which have their origin in individual creativity, skill, and talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property.' (UK Departemen of Culture Media and Sports).

terjemahan bebas:


Industri-industri yang berbasis kreativitas, keterampilan dan talenta yang memiliki potensi peningkatan kesejahteraan serta penciptaan tenaga kerja dengan cara menciptakan dan mengeksploitasi HKI.

Dari definisi ini, harus digaris bawahi poin-poin pentingnya*:

  1. Kreativitas, keterampilan dan talenta : Berbasis pada otak manusia yaitu kreatifitas (baik artistik maupun non-artistik seperti sains). Berbeda dengan sumber daya alam yang akan terus berkurang, kreatifitas adalah sumber daya yang tidak terbatas.
  2. Peningkatan kesejahteraan: suatu konsep dalam meraih kesejahteraan.
  3. Penciptaan dan eksploitasi berbasis HKI (Undang-undang dan HAM)

Jadi, sekarang sudah agak jelas. Ekonomi Kreatif melulu membicarakan spektrum yang lebih luas, segala aspek yang betujuan meningkatkan daya saing dengan menggunakan kreatifitas individu yang dilihat dengan kacamata ekonomi. Industri Kreatif adalah bagian dari ekonomi kreatif dan berfokus pada industrinya masing-masing, yang telah sementara ini dipetakan ada 14 sub sektor (bagi Indonesia). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa setiap industri di abad teknologi informasi ini telah terkonvergensi, sehingga akan ada irisan-irisan antara satu dengan lainnya.




Sub Sektor Industri Kreatif Indonesia**:

  1. Periklanan
  2. Arsitektur
  3. Pasar seni dan barang antik
  4. Kerajinan
  5. Desain
  6. Fesyen
  7. Video, Film dan Fotografi
  8. Permainan interaktif
  9. Musik
  10. Seni Pertunjukan
  11. Penerbitan & Percetakan
  12. Layanan Komputer dan piranti lunak
  13. Televisi & radio
  14. Riset dan Pengembangan

* = akan dibahas di artikel selanjutnya

** = lebih jelasnya bisa dilihat disini.

Kamis, 25 Oktober 2007

Summary Industri Kreatif Indonesia 2002-2006 (versi Beta 0.3)

Tanggal 23 Oktober 2007, acara Pameran Produksi Ekspor atau Trade Expo 2007 dibuka oleh Presiden RI. Acara berlangsung 23-27 Oktober 2007 di Jakarta International Expo (PRJ) di Kemayoran. Acara ini adalah gawe Departemen Perdagangan RI.

Didalam arena pameran, Hall D2 terdapat Anjungan Produk Utama (APU) berisi produk-produk utama dan potensial yang menjadi mata dagangan Indonesia. Disalah satu sudutnya, terdapat sektor Industri Kreatif. Disana ditampilkan berbagai pelaku Industri Kreatif Indonesia seperti kerajinan, furniture, advertising, animasi, games, desain produk, konsultan branding dan juga hasil Indonesia Good Design Selection (IGDS) hasil kerja Pusat Desain Nasional - Departemen Perindustrian.


Salah satu sudut arena pameran, Zona Industri Kreatif. Mesin ATM saya ada dipojok bawah.

Disini pula hasil mapping Industri Kreatif yang diolah oleh Departemen Perdagangan yang dibantu sebuah tim yang mewakili industri kreatif ditampilkan. Mapping ini masih dalam versi Beta, finalisasi akan diluncurkan di awal November. Berbagai diagram statistik ditampikan didalam sebuah panel berukuran 3 meter x 2 meter. Ini adalah resume dari hasil penelitian tim tersebut:

Industri Kreatif di Indonesia yang masih belum banyak tersentuh oleh campur tangan pemerintah ternyata cukup berperan dalam membangun perekonomian nasional. Sektor ini berkontribusi sebesar Rp 104,4 triliun rupiah di 2006, atau berperan rata-rata 4,75% di periode 2002-2006 dalam PDB nasional. Jumlah ini melebihi sumbangan yang diberikan oleh sektor listrik, gas, dan air bersih.

Yang lebih menjanjikan dari Industri Kreatif di Indonesia adalah kemampuannya dalam percepatan menghadirkan lapangan usaha baru. Sektor ini mampu menyerap 4,5 juta pekerja dengan tingkat pertumbuhan sebesar 17,6% di tahun 2006. Nilai pertumbuhan ini jauh melebihi tingkat pertumbuhan tenaga kerja nasional yang hanya tumbuh sebesar 0,54%. Jumlah perusahaan baru meningkat sebanyak 25,05%, juga jauh dibandingkan keseluruhan nasional yang hanya 14,41% di tahun yang sama.

Data-data di atas jelas menunjukkan pentingnya dan prospek yang dimiliki oleh industri kreatif khususnya di tahun-tahun mendatang, yang kiranya akan jauh lebih baik lagi dengan dukungan dari pemerintah, khususnya departemen perdagangan.

Sektor kreatif akan memberikan harapan baru akan munculnya suatu usaha atau kegiatan ekonomi yang lebih banyak mengandalkan sentuhan kreatif individu yang akan membawa mereka ke level kehidupan yang lebih baik. Produktivitas sektor Industri kreatif lebih tinggi dari keseluruhan produktivitas tenaga kerja nasional, karena ekonomi kreatif membawa segenap talenta, bakat, dan hasrat individu untuk menciptakan “nilai tambah” melalui hadirnya produk/jasa kreatif.

Dengan campur tangan pemerintah, maka sektor ini dapat berperan jauh dalam perekonomian nasional. Industri kreatif di Indonesia akan mampu berperan menciptakan banyak lapangan kerja dan wirauusahawan-wirausahawan baru, yang akan membantu mengurangi jumlah pengangguran serta tingkat kemiskinan. Kesempatan untuk menjadi wirausahawan baru akan terbuka bagi semua golongan dan individu karena tidak diperlukan modal yang besar dan teknologi tinggi, cukup ide (produk) kreatif, asalkan mereka mau berusaha dan meraihnya.

Selain dampak ekonomi, industri kreatif juga mampu menghadirkan berbagai hal positif lainnya. Studi Industri kreatif di Inggris dan negara lainnya menyebutkan bahwa sektor ini mampu membantu menumbuhkan individual fulfilment dan well-being, menyatukan bangsa sebagai sebuah komunitas, meningkatkan kualitas pendidikan, serta membuat negara menjadi lebih menarik untuk kepariwisataan. Sehingga sudah saatnya bagi bangsa ini untuk mulai serius dalam mengembangkan ekonomi kreatif di Indonesia.

Pada saat pembukaan, terlihat beberapa tokoh dan mantan pengambil keputusan di pemerintah menaruh perhatian mereka pada Industri Kreatif. Rata-rata berkomentar positif.




Ki-Ka: Ardiansyah S Parlan-Dirjen Perdagangan Dalam Negeri DepDag. Rahardi Ramelan-mantan MenPerinDag Kabinet Reformasi, Andrie Trisaksono-orang biasa. Sedang asyik mendiskusikan kontribusi sektor Industri Kreatif dibandingkan dengan sektor-sektor industri lain. Sangat surprise ketika bapak Rahardi Ramelan menyebutkan bahwa kita semua harus mulai mengaktifkan OTAK KANAN, wow, beliau ternyata masih tekun mengikuti perkembangan teori-teori bahkan ke industri kreatif juga, selamat pak. Tidak ketinggalan para tokoh dari Pusat Desain Nasional seperti Prof Widagdo dan Ir Sihombing tampak hadir di arena.

Slideshow Mapping Industri Kreatif Indonesia 2002-2006 versi Beta 0.3 (penjelasan lebih detail, kunjungi http://industrikreatif-depdag.blogspot.com/ )

Diambil dari http://industrikreatif-depdag.blogspot.com

Senin, 13 Agustus 2007

Industri Kreatif China vs Industri Komoditi Indonesia. Siapa Menang?

Didalam bukunya "The Creative Economy, How People Make Money from Ideas", John Howkins memaparkan 15 sub sektor Industri Kreatif. Salah satunya adalah "Mainan dan Permainan" (Toys and Games, tidak termasuk video games). Mari kita teropong kontribusi ekonomi di negara masing-masing. Sangat menarik.

  • Saat ini Indonesia memblokir mainan-mainan asal China karena diduga mengandung logam berat. Bila terkena panas, plastik-plastik mainan tersebut dapat bereaksi dan berubah mejadi racun. Disamping mainan, pasta gigi, dan permen juga diblokir oleh Pemerintah Indonesia.
  • Tanggal 4 Agustus 2007 klik dan klik. China membalas tindakan Indonesia ini. China memblokir produk-produk hasil laut Indonesia karena diduga tercemar.

Mari kita baca angka-angka ini:

A. Indonesia

Ekspor produk perikanan Indonesia ke China tiap tahun mencapai USD 150 juta atau sekitar Rp1,4 triliun, klik. Sementara total ekspor ke seluruh dunia mencapai USD 2,1 Milyar. Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa merupakan negara tujuan ekspor yang paling besar.

B. China

Export Mainan Terbesar di Dunia adalah dari China (75%), klik.
  • Terdapat 8000 pabrik mainan di China
  • Ada 286 Juta anak-anak dibawah umur 14 tahun di China, lebih besar dari populasi penduduk Indonesia dan hampir sama dengan populasi penduduk Amerika.
  • Pasar Domestik Mainan di China tahun 2003 diperkirakan melebihi = 3,75 Milyar

Data John Howkins, 2001 dan dari sumber-sumber lain:

Pasar Mainan Dunia (1999, 2000):
  • 1999: USD 53 Milyar
  • 2000: USD 55 Milyar
  • Pasar Mainan di Amerika = USD 21 Milyar
  • Pasar Mainan di UK = Poundsterling 1.7 Milyar
Belanja untuk mainan anak per tahun (2000):
  • USA = USD 273
  • Timur Tengah = USD 204
  • Eropa = USD 120
  • Asia = USD 11
  • Afrika = USD 1
  • Rata-rata seluruh dunia = USD 34

Kita bisa menebak:
  • Dari 75% pangsa pasar mainan dunia, maka nilai ekspor mainan China adalah USD 55 Milyar (data tahun 2000) x 75% =USD 41,25 Milyar
  • Pasar Produk Ikan Global Indonesia cuma 5.1% (USD 2,1 Milyar) dibandingkan dengan pasar "Sayang Anak" Domestik (mainan untuk anak-anak dibawah 14 tahun di China). Padahal rata-rata penduduk China cuma punya satu orang anak :-)
  • Industri kreatif berbasis Mainan memang menjadi penyumbang ekonomi China yang cukup potensial, 8000 pabrik menggantungkan nasibnya.

Faktor Ancaman:
  • Economic of Scale: Bila ada 8000 pabrik yang membuat mainan setiap hari di China, bayangkan betapa Cost Effectivenya industri manufakturing dari Volume Produksi mainan disana. 1 barang bisa diproduksi jutaan unit sekali jalan. Ya jelas bisa murah.
  • Anda tahu SCRAP? Scap adalah limbah atau sisa-sisa. Sisa-sisa plastik Dari 8000 industri mainan di China itulah yang di recycle menggunakan logam berat, dan menjadi mainan murah yang beredar di Indonesia. Rp 10 ribu dapat 3 barang. Gimana mau tidak murah dengan konsep produksi seperti ini? Apalagi kalau masuknya ke Indonesia dengan cara menyelundup.

Renungan:
Ekspor komoditi Ikan Indonesia masih kecil untuk dianggap penting bagi China. Fenomena ini menunjukkan salah satu bukti kekuatan industri kreatif dalam "tarik-ulur" negosiasi perdagangan internasional. Lalu, Industri Indonesia mau bagaimana? Berminat ekspor mainan? Mainan perlu desainer mainan. Desainer Indonesia berminat menggaruk pangsa pasar ekspor mainan?

Minggu, 22 Juli 2007

Melacak Peringkat Daya Saing Dunia


Kembali saya ingin memulai perbincangan dengan data empiris dari sudut makro ekonomi. Saya ingin melacak daya saing negara-negara khususnya yang terkait dengan Ekonomi Kreatif. Saya akan mulai dari data World Economic Forum (selanjutnya saya sebut WEF). Setiap tahun WEF mengeluarkan tabel index daya saing dunia. Indonesia menunjukkan prestasi yang lumayan, menjadi peringkat 50, naik 19 peringkat dibandingkan 2 tahun sebelumnya. Melihat peringkat ini, bila dilihat dari banyaknya deretan negara-negara, tentu Indonesia sudah cukup lumayan. Tetapi, bila dibandingkan dengan beberapa negara-negara ASEAN lain, seperti Singapura ([peringkat 5) dan Malaysia (peringkat 26) serta Thailand (peringkat 35) mungkin kita agak bergiat diri agar dapat mengejar ketinggalan kita. Gambar disamping saya potong-potong agar lebih singkat. Saya ambil dari situ WEF silahkah klik disini untuk download ke 50 Peringkat secara lengkap.

Sesuai judul diatas, saya ingin melacak cara-cara WEF menetapkan peringkat (index) ini. Asumsi saya, Global Competitiveness Index tentu disusun berdasarkan parameter-parameter dan tentunya saya berharap dapat menemukan parameter-parameter yang mengarah pada ekonomi kreatif. Akhirnya saya menemukan Economic Creativity Index. Jika diterjemahkan, mungkin artinya adalah Kreatifitas Ekonomi. Apakah ini sama dengan Ekonomi Kreatif? saya belum pasti betul. Namun untuk saat ini mari kita bertolak dari index ini. Ternyata Kreatifitas Ekonomi ini berkaitan dengan proses penciptaan bisnis baru. Cukup logis. Kita tahu, semakin cepat dan mudah sektor formal dan non-formal mewujudkan visi bisnisnya, kita bisa mengartikan bahwa iklim perekonomiannya menaruh keyakinan yang mendukung terciptanya berbagai peluang usaha. Dapat dilihat didalam gambar dibawah, bahwa Kreatifitas Ekonomi tercipta dari (a) Peringkat Teknologi (Technology Index) dan (b) Peringkat Penciptaan Bisnis Baru (Startup Index). Peringkat Teknologi pun disusun dari inovasi teknologi, dan transfer teknologi, sedangkan Peringkat Penciptaan Bisnis Baru disusun dari faktor kemudahan berusaha, ketersediaan Dana Fentura, serta adanya peluang kredit lunak atau kredit dengan agunan rendah.



Bila kita kembali pada konsep 3T dari Dr. Richard Florida, disebutkan bahwa T ke-1 adalah Talenta, T ke-2adalah Toleransi, dan T ke-3 adalah Teknologi. Dengan segera kita dapat mengenai bahwa Economic Creativity Index ternyata senafas dengan konsep 3T Florida, sebagaib berikut:
  • Technology Innovation adalah salah satu bagian dari Talenta
  • Technology Transfer adalah salah satu bagian dari Technology
  • StartUp Index adalah suatu kondisi dimana iklim berusaha bagi para entrepeneur baru sangat dimudahkan. Ini adalah salah satu semangat dari konsep Toleransi/ Openess

Dengan penjodoh-jodohan yang ala saya terhadap fakta-fakta empiris ini, memang agak sulit untuk meragukan penelitian Florida, karena cukup selaras dengan pandangan World Economi Forum. Bahkan WIPO juga memiliki pandangan yang relatif sema dengan konsep 3T yang ditawarkan Florida.

Talenta, Desain Industri dan UKM Indonesia

Ada dua hal menarik yang sangat substansial yang saya dapat dari Indonesia:
Masyarakat dunia usaha khususnya UKM di Indonesia kreatif dalam bidang “tertentu” misalnya bila ada yang jualan ROTI UNYIL yang sukses, lalu muncul disebelahnya yang berjualan ROTI UNYL (cuma beda tipis), tetapi kurang kreatif dalam bidang bisnis dan teknologi. Ini bisa dilihat Dari data DitJen HKI dibawah ini atau bila kurang jelas bisa download, klik disini:


Terlihat dikolom ke-2 dari kiri adalah UKM, kolom ke-3 adalah non-UKM dan di kolom ke-7 adalah Perorangan. UKM yang mendominasi 90% kegiatan usaha dan industri di Indonesia sangat sedikit mendaftarkan Desain Industri. Apakah karena biayanya telalu mahal? prosedur sulit? Lalu siapakah yang dikategorikan sebagai perorangan di kolom ke 7 dari kiri tersebut? Apakah ini adalah individu-individu yang bergerak di Industri Kreatif? Apakah ini adalah individu yang diklasifikasikan Kelas Kreatif (Creative Class)? Harus segera dibuktikan. Kebijakan Pemerintah dunia Perbankan dalam mendukung UKM juga masih harus dibuktikan secara sungguh-sungguh, karena perbankan dewasa ini lebih senang memarkir dananya di BLBI. Untuk pengurusan, proses birokrasi di Pusat dan Daerah harus dapat dipermudah dan Pro-Business.

Quote yang menarik bagi yang berkepentingan dalam memajukan iklim usaha dan enterpreneurship:

"Dimanakah letak bottleneck yang sebenarnya? Tentu saja dibagian atas botol itu".

(The Bottleneck is at the Top of The Bottle).

"Dimana anda dapat menemui orang-orang yang tidak berpengalaman, orang-orang yang punya warisan uang yang banyak, dan orang-orang yang penuh dengan dogma-dogma industri kuno? Mereka ada di Top Manajemen”.

Gary Hamel, Strategy or Revolution/ Harvard Business Review

Kesimpulan sementara saya: Konsep 3T bila dipahami dengan benar, dapat membantu memperbaiki iklim investasi dan iklim berusaha di Indonesia. Pada era Ekonomi Kreatif, tentu saja iklik investasi dan iklim berusaha di Indonesia harus mulai memperhatikan sektor-sektor industri kreatif. Dengan bantuan seluruh Stake Holder, pada akhirnya akan mampu mendongkrak peringkat daya saing Indonesia dimata Internasional. Semoga.


HKI Sebagai Daya Saing, Bagaimana Kesiapan Indonesia?

Memulai artikel ini saya ingin mengutip kembali kata-kata John Howkins; Ekonomi Kreatif adalah suatu aktivitas penciptaan dimana inputnya adalah Gagasan dan outputnya juga Gagasan. Jadi Gagasan adalah suatu yang sangat dijunjung tinggi didalam era ekonomi kreatif ini. Kembali menurut John Howkins, Ekonomi kreatif adalah transaksi dari hasil kreasi produk-produk kreatif. Biasanya ada 2 macam nilai disetiap transaksi: nilai yang tak kasat mata, HKI dan nilai benda kasat mata. Dalam suatu industri seperti misalnya perangkat lunak digital, nilai HKInya lebih tinggi. Di industri lain seperti seni, harga suatu objek secara fisik lebih tinggi. Jadi, salah satu peran penting dalam Ekonomi Kreatif adalah pemaksimalan HKI sebagai daya saing.



Berkenalan dengan HKI
Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat terbagi dalam dua kategori yaitu: Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Sedangkan Hak Kekayaan Industri meliputi Paten, Merek, Desain Industri,Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman. (sumber: website DitJen HKI)

Kesiapan Indonesia
Bagaimana kesiapan Indonesia dalam hal ini? Kebanyakan masyarakat/pekerja kreatif di Indonesia tidak terlalu paham mengenai manajemen HKI. Kadang masyarakat kreatif terlalu berlebihan dalam menempatkan HKI, sehingga segala sesuatu ingin di proteksikan. Bila tidak cermat, mendaftarkan segala sesuatu malah dapat membuat tidak efisien, disamping karena membutuhkan waktu dalam meregistrasi,untuk produk ekspor maka kita juga harus mendaftarkan desain tersebut dinegara tujuan ekspor. Ini tentu akan menyulitkan dan menghabiskan uang. Jadi, permasalahan HKI bukanlah sekedar memikirkan proteksi semata, namun juga secara cermat memahami situasi pasar. Howkins memberi saya inspirasi yang saya gambarkan dengan ilustrasi dibawah ini:
  1. Tahapan 1,2,3,4 tentu harus dipahami secara menyeluruh, namun kadang-kadang terdapat situasi dimana seorang pemilik gagasan tidak harus melewati ke empat-empatnya secara lengkap.
  2. Box 1 & Box 4 (merah) berarti (menurut saya) seorang pekerja kreatif tidak harus meregistrasi karya/produk mereka, ini disebabkan karena produk yang dihasilkan lifecycle-nya rendah, dan sangat ditentukan oleh bentuk fisiknya. Misalkan benda-benda kerajinan dari rotan, yang akan berubah mode dalam 3 bulan. Meregistrasi benda-benda seperti ini hanya akan menghabiskan uang dan menghilangkan peluang dominasi pasar hanya karena menunggu proses registrasi selesai.
  3. Box 2 dan Box 3 (hijau) berarti (menurut saya ) adalah kegiatan manajemen HKI yang lebih lengkap. Alasannya adalah karena produk yang dihasilkan sangat obyektif dan tidak kasat mata, misalnya perangkat lunak dan multimedia.

Prestasi Paten di Indonesia

Di Indonesia dan kebanyakan negara-negara Asia lainnya (selain Cina, India, Korea dan Jepang) masih sangat sering dijumpai pembajakan-pembajakan HKI. Apakah ini berarti orang Indonesia kurang menghargai HKI? Pertama-tama saya butuh bukti empiris untuk memulai analisa kita. Mari kita lihat data Paten dari DitJen HKI Indonesia sebagai berikut:

Selama 13 tahun permohonan paten lokal yang disetujui hanya sekitar 1.15%

dibandingkan dengan permohonan Paten Luar Negeri






Paten Lokal Sepi, DitJen HKI Bertahun-tahun Hanya Sibuk Melayani Paten Orang Asing


Berdasarkan fakta-fakta dari DitJen HKI ini, jelas sudah bahwa masyarakat Indonesia masih sangat rendah kesadarannya dalam masalah Paten ini. Namun ada sedikit obat pelipur lara. Dari berbagai sumber yang saya temukan, ternyata permohonan paten dari dalam negeri masing-masing negara anggota ASEAN lainnya ternyata juga masih sedikit dibandingkan permohonan paten yang berasal dari luar negeri. Berikut ini adalah data tahun 2000:
  1. Thailand: 615 paten & desain lokal : 3874 paten asing. Paten & desain lokal sekitar 15%.
  2. Singapura: 624 paten & desain lokal : 8070 paten asing. Paten & desain lokal sekitar 7%.
  3. Malaysia, 322 paten & desain lokal : 4937 paten asing. Paten & desain lokal sekitar 6%.
  4. Indonesia: 228 paten & desain lokal : 4048 paten asing. Paten & desain lokal sekitar 5%

Melihat gejala ini, saya mensinyalir bahwa negara-negara di Asia kecuali Jepang, Cina, Korea dan India telah merasa nyaman untuk menjadi konsumen saja. Semangat dan hasrat untuk menciptakan inovasi sangat rendah, padahal bangsa Asia kebanyakan memiliki aset-aset budaya yang sangat tinggi yang seharusnya dapat diekplorasi dan diekploitasi menjadi sumber-sumber ekonomi baru. Gejala ini perlu disikapi secara serius.

Hal yang menarik, saya temukan bahwa pada tahun yang sama (2000), paten lokal yang didaftarkan di dua negara maju yaitu Belanda hanyalah sebesar 5,76% dan di Kanada hanyalah sebesar 7,69% .

Belanda ada di peringkat 9 dan Kanada ada diperingkat 16 dalam Peringkat Daya Saing Dunia 2006-2007 versi World Economic Forum. Indonesia ada di peringkat 50 (naik 19 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya). Melihat fakta di Belanda dan Kanada, saya cukup optimistik bahwa penemuan paten-lokal-baru bukan segala-galanya dalam menciptakan daya saing suatu negara. Ini menimbulkan ide, bila paten lokal sangat minim, bagaimana dengan HKI Tradisional, mungkin dari situ ada yang bisa kita patenkan? Alangkah baiknya bila bangsa Indonesia mulai menginventarisir HKI tradisional yang telah ada sejak berabad-abad yang silam. At least, warisan budaya tersebut telah jelas terbukti mampu memperlihatkan keunikannya. Sejenak menengok pada warisan budaya tradisional kita yang bernilai HKI, Dr Agus Sardjono, pengamat HKI dari FHUI mengutarakan bahwa proteksi HKI bisa dilakukan kepada warisan budaya tradisional. Didunia Hukum disebut Negative Protection. untuk penemuan modern disebut Positive Protection. Apabila Indonesia merasa ada warisan budayanya yang diserobot oleh negara lain, Indonesia masih memiliki hak untuk mengklaim kembali hak tersebut. Contoh negara yang sangat rajin mengklaim kembali HKI Tradisionalnya adalah India. India sangat rajin mengklaim masalah ramuan-ramuan tradisionalnya yang banyak diserobot oleh negara lain. Salah satu sarat agar dapat mengklaim adalah bukti bahwa warisan budaya tersebut masih secara aktif berlangsung di negara asalnya. Misalnya Keris, Indonesia memenangkan klaim Keris atas Malaysia karena di Indonesia masih ada empu-empu yang aktif membuat keris sedangkan Malaysia sudah tidak ada.

Kembali ke Belanda dan Kanada, saya berpendapat, kemungkinan bahwa negara-negara ini mampu tetap mampu menduduki peringkat cukup tinggi walau tidak produktif menghasilkan paten lokal adalah:

  1. Kemampuan mentransfer teknologi secara independen. Menurut saya, transfer teknologi yang sebenarnya adalah kemampuan memahami teknologi tertentu yang bukan miliknya tetapi kemudian mampu menciptakan efisiensi biaya dan waktu serta mengurangi ketergantungan dengan pemberi teknologi tersebut. Output akhir adalah produk-produk berlabel baru. Kenyataanya di Indonesia, walaupun terjadi transfer teknologi, namun industri di Indonesia kurang dapat melepaskan diri dari sang pemberi teknologi, dalam arti kata lain, industri-industri di Indonesia masih berorientasi sebagai tukang jahit dari Prinsipal Asing. Sehingga, walaupun teknologi mampu dikuasai, namun segala aktivitas yang dilakukan adalah demi menghasilkan benefit ekonomi terbesar bagi Prinsipal. Nilai ekonomi bagi Industri lokal tetap rendah. Itu baru dari Industri Besar. Di sektor UKM, survey juga memperlihatkan bahwa paten lokal yang dihasilkan oleh UKM lebih rendah dibandingkan dengan paten lokal yang dihasilkan oleh Industri Besar. Statistik tentang UKM ini mungkin ada benarnya karena UKM di Indonesia 40% didominasi oleh usaha-usaha makanan yang relatif tidak terlalu tergantung pada paten.
  2. Toleransi/Creative Diversity: Setelah membaca point 1, telah terbayang kawasan-kawasan industri tukang jahit bertebaran di seluruh penjuru Indonesia, tentu saja Low Skilled Labour. Dengan demikian, akankah pengelola kawasan industri dan investor asing/Prinsipal akan mau repot-repot menciptakan kawasan industri yang menunjang iklim kreatifitas? pendidikan? Tentu saja tidak. Belum lagi suasana demo dari para buruh-buruh kasar yang sering terjadi. Disinilah tantangan bagi Otorita Kawasan Industri serta Pemerintah Daerah untuk segera memberikan pembenahan yang holistik, agar kawasan-kawasan yang sudah ada tersebut dapat menarik minat lebih banyak lagi talenta-talenta kreatif yang mampu memberi nilai tambah bagi produk-produk yang dihasilkan ditempat itu, sehingga mampu meningkatkan taraf hidup pekerja-pekerja yang hidup disana. Belanda, juga dikenal sebagai negara yang sangat toleran dengan gaya hidup tertentu. Bukan berarti permisif, namun Belanda mampu mengaturnya dengan baik.
  3. Jaringan Internasional. Singapura yang berada di peringkat 5 dalam Peringkat Daya Saing Dunia, adalah contoh baik dalam hal Internasionalisasi. Belanda dan Singapura juga dikenal sebagai tempat yang nyaman untuk bertransaksi produk-produk komoditas dunia. Konon, harga komoditi CPO, karet, kokoa, dan rempah-rempah asal Indonesia sangat dipengaruhi oleh transaksi-transaksi di negara-negara ini. Dengan tingkat permohonan Paten lokal di tahun 2ooo hanya 7%, lebih rendah dari Thailand (15%) Singapura mampu menempati peringkat 5 dunia (2006-2007). Kepercayaan Dunia untuk menaruh investasi di Indonesia adalah hal yang penting dalam meningkatkan daya saing Indonesia.

Meneliti prestasi HKI Indonesia saat ini dari sudut pandang produktifitas Paten, rasanya jalan masih panjang untuk menjadikannya salah satu ujung tombak dari Ekonomi Kreatif Indonesia. Namun, saya mencoba mengungkapkan bahwa masih banyak jalan lain menuju Roma, salah satunya adalah dengan mulai menginventarisir Warisan Budaya Indonesia, kemudian menjadikannya inspirasi-inspirasi untuk membuat sesuai yang inovatif walaupun tidak mutlak suatu kebaruan (novelty), atau bahkan mengapa tidak bila menengok ke industri Pariwisata. Apabila Ekonomi Kreatif didefinisikan sebagai kegiatan yang input dan outputnya adalah gagasan, mengapa tidak jika menelorkan gagasan kreatif dibidang pariwisata. Pariwisata yang saya maksud bukan semata-mata pariwisata konvensional secara sempit, namun bisa juga menjadi industri terintegrasi yang melibatkan industri transportasi (industri Yacth misalnya), jasa travel, hotel (properti yang kreatif), kuliner (propaganda makanan Indonesia ke LN), film (National Geographic Channel & Discovery Channel ala Indonesia), musik (ethno-kontemporer) dan lain sebagainya. Silahkan komentar.

Jumat, 20 Juli 2007

Ekonomi Kreatif di Indonesia

Ekonomi Kreatif dan Industri Kreatif mulai santer dibicarakan di Indonesia kira-kira mulai awal 2006. Binatang apa ini? Dapat dilacak bahwa Menteri Perdagangan RI, Dr Mari Elka Pangestu pada tahun 2006 meluncurkan program Indonesia Design Power di jajaran Departemen Perdagangan RI, suatu program pemerintah yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia dipasar domestik maupun ekspor. Presiden RI pada pidatonya pada pembukaaan Pameran Pekan Budaya Indonesia baru-baru ini juga tengah bersiap-siap menyambut era Ekonomi Kreatif ini, yang Beliau sebut sebagai ekonomi gelombang ke-4.

Rasanya akan cukup menarik mengulas Ekonomi Kreatif ini, karena ini adalah momentum bagus untuk berkembangnya profesi-profesi kreatif di Indonesia. Saya yang mengecap pendidikan kreatif secara formal akan coba menjabarkan secara pendapat pribadi. Topik ini sangat menarik, namun mulai saat ini kita harus membiasakan diri untuk sering berganti-ganti kacamata sudut pandang, dari kaca mata makro ekonomi ke kacamata sosiologi, etnografi, kreatif & artistik, teknologi ICT, planologi bahkan studi pembangunan. Suatu kawasan multi disipliner, multi dimensi. Merupakan tantangan besar bagi orang yang ingin memahami topik ini. Pendekatan saya adalah studi literatur dan internet research. Pada tahap ini saya bersifat referensial dan textbook oritented sebagai alibi saya dalam menjelaskan hal-hal terkait, namun pada saat yang sama saya berusaha mencari kontekstualisasinya untuk Indonesia. Ibarat mengemudikan mobil sambil sekaligus melihat kebelakang melalui kaca spion.

Istilah Ekonomi Kreatif setahu saya pertama kali didengungkan oleh tokoh bernama John Howkins, penulis buku "Creative Economy, How People Make Money from Ideas". Dia seorang yang multi profesi. Selain sebagai pembuat film dari Inggris ia juga aktif menyuarakan ekonomi kreatif kepada pemerintah Inggris sehingga dia banyak terlibat dalam diskusi-diskusi pembentukan kebijakan ekonomi kreatif dikalangan pemerintahan negara-negara Eropa. Menurut definisi Howkins, Ekonomi Kreatif adalah kegiatan ekonomi dimana input dan outputnya adalah Gagasan. Benar juga, esensi dari kreatifitas adalah gagasan. Bayangkan hanya dengan modal gagasan, seseorang yang kreatif dapat memperoleh penghasilan yang sangat layak. Gagasan seperti apakah yang dimaksud? Yaitu gagasan yang orisinil dan dapat diproteksi oleh HKI. Contohnya adalah penyanyi, bintang film, pencipta lagu, atau periset mikro biologi yang sedang meneliti farietas unggul padi yang belum pernah diciptakan sebelumnya.

Tokoh berikutnya adalah seorang Doktor dibidang Ekonomi, Dr. Richard Florida dari Amerika, penulis buku "The Rise of Creative Class" dan "Cities and the Creative Class", dia menyuarakan tentang industri kreatif dan kelas kreatif di masyarakat (Creative Class). Florida sempat mendapat kritik, bila ada kelompok tertentu dilingkungan sosial yang memiliki kelas tersendiri, apakah ini terkesan elit dan eksklusif? Tidak juga. Justru menurut Florida, ia menghidari kesan tersebut karena gejala dari istilah-istilah sebelumnya seperti Knowledge Society yang dinilai elitis. Menurut Florida "Seluruh umat manusia adalah kreatif, apakah ia seorang pekerja di pabrik kacamata atau seorang remaja digang senggol yang sedang membuat musik hip-hop. Namun perbedaanya adalah pada statusnya (kelasnya), karena ada individu-individu yang secara khusus bergelut dibidang kreatif (dan mendapat faedah ekonomi secara langsung dari aktivitas tersebut). Tempat-tempat dan kota-kota yang mampu menciptakan produk-produk baru yang inovatif tercepat akan menjadi pemenang kompetisi di era ekonomi ini", begitu tukasnya.

Robert Lucas, pemenang Nobel dibidang Ekonomi, mengatakan bahwa kekuatan yang menggerakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi kota atau daerah dapat dilihat dari tingkat produktifitas klaster orang orang bertalenta dan orang-orang kreatif atau manusia-manusia yang mengandalkan kemampuan ilmu pengetahuan yang ada pada dirinya.

Ada pula definisi Industri Kreatif dari visi Pemerintah, sebagai berikut: Industri-industri yang mengandalkan kreatifitas individu, keterampilan serta talenta yang memiliki kemampuan meningkatkan taraf hidup dan penciptaan tenaga kerja melalui penciptaan (gagasan) dan eksploitasi HKI. (Diambil dari definisi UK Department of Culture, Media and Sport, 1999).

Ekonomi Kreatif , Apa yang Baru?
Ekonomi dan Kreatif, kedua hal ini bukanlah hal yang baru karena sejak dulu kita sudah kenal. Yang baru adalah keterhubungan diantara keduanya yang kemudian menghasilkan penciptaan nilai ekonomi yang dahsyat dan menciptakan lapangan pekerjaan yang baru melalui eksplorasi HKI. Kedahsyatannya dilihat dari sisi ekonomi adalah sumbangan ekonomi kreatif terhadap GDP suatu negara.

Data tahun 2000:
  • Singapura: 3% GDP
  • Amerika & UK: 5% s/d 8% GDP .
  • Saat ini 40 juta (30%) penduduk Amerika bekerja di sektor kreatif (menurut Richard Florida).
Yang menarik disini adalah hal yang memotivasi lahirnya istilah ini. Ternyata bisa ditarik mundur dari teori/ramalan Alvin Toffler bahwa gelombang peradaban manusia itu dibagi tiga gelombang. Gelombang pertama adalah abad pertanian. Gelombang kedua adalah abad industri dan gelombang ketiga adalah abad informasi. Sementara ini Toffler baru berhenti disini. Namun teori-teori terus berkembang, saat ini peradaban manusia dengan kompetisi yang ganas dan globalisasi, masuklah manusia pada era peradaban baru yaitu Gelombang ke-4. Ada yang menyebutnya sebagai Knowledge-based economy ada pula yang menyebutnya sebagai ekonomi berorientasi pada Kreativitas. Lihatlah gambar dibawah ini:



Pergeseran Orientasi Ekonomi Dunia Barat


Alasannya sungguh jelas, dinegara maju lahan pertanian telah menyusut jauh, standar hidup yang tinggi menyebabkan biaya operasional pabrik besar dinegara-negara maju menjadi semakin mahal sehingga pemanfaatan teknologi informasi, mesin-mesin canggih yang optimal akan sangat membantu mengurangi biaya-biaya manusia. Teknologi informasipun telah mampu meratakan dunia bahkan melipat dunia, melintas batas-batas jarak dan waktu. Negara-negara maju secara gegap gempita mencanangkan lahirnya era Globalisasi. Dengan Globalisasi segala sesuatu dapat dikendalikan ibarat Remote Control. Dengan mengandalkan kekuatan modal besar, negara maju dapat mendirikan pabrik-pabriknya dinegara lain yang tenaga kerjanya lebih murah, dan tentu saja negara maju tidak perlu lagi disesaki dengan asap polusi Industri dan limbah industri. Ini juga diperkuat dari pendapat Florida: kita (bangsa Amerika) walaupun masih punya, tetapi tidak lagi dapat mengandalkan Sumber Daya Alam dan supremasi industri manufaktur karena Jepang dan China telah dengan sukses menciptakan efisiensi manufakturing dan biaya operasional yang sulit ditandingi. Dari realitas ini dan penelitian-penelitian statistik yang super canggih mereka berhasil mengidentifikasi bahwa konsep-konsep dan gagasan kreatif adalah modal baru bagi perkonomian di negara-negara maju. Setelah diteliti ternyata ekonomi kreatif telah mampu menjadi sumber ekonomi yang tinggi.

Lingkup Industri Kreatif
Apa saja lingkup dari Industri Kreatif? Departemen Kebudayaan, Media dan Olah Raga di UK menurunkan 15 subsektor yang dinilai merupakan bagian dari Industri Kreatif di Negara Barat, yaitu sebagai berikut:

(1) Penelitian & Pengembangan (2) Penerbitan (3) Perangkat Lunak (4) TV&Radio (5) Desain (6) Musik (7) Film (8) Permainan & Games (9) Jasa Periklanan (10) Arsitektur (11) Seni Pertunjukan (12) Kerajinan (13) Video Games (14) Fesyen (15) Seni Rupa.

Perlu diketahui, interpretasi negara-negara didunia tidak secara mutlak mengacu ke 15 sektor ini, negara-negara didunia mengkontektualkan lagi sesuai kondisi dan prioritas negaranya masing-masing.

Bagaimana dengan Indonesia?
Apakah kita setuju dengan tawaran ini? Bila kita setuju, apa alasannya, dan bila tidak setuju lantas harus bagaimana? Bila kita membuka mata, Indonesia ternyata memiliki keunikan tersendiri. Menurut Menteri Perdagangan RI (disampaikan pada Rakernas Departemen Perdagangan di Jakarta, 19 Juli yang lalu), ke empat gelombang tersebut semua masih berlangsung di Indonesia, membuat Indonesia memiliki karateristik yang spesifik dan perlu perencanaan yang matang agar dapat berperan aktif didalam era ekonomi kreatif, seperti ini:




Saya sangat setuju dengan alasan Beliau. Alasan saya pribadi adalah sebagai berikut:

  1. Pertanian: Kondisi geografis yang sangat luas dan sumber daya alam yang melimpah tetap merupakan daya tarik dalam berinvestasi dibidang pertanian. Pergeseran orientasi ekonomi didunia barat cenderung mengatakan era geografis telah usai di negara mereka. Itu bagi mereka. Menurut saya, itu belum sepenuhnya benar untuk Indonesia, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa masa kejayaan Indonesia dalam bidang pertanian telah mulai meredup dan tersalip oleh negara ASEAN lain seperti Thailand dan Vietnam. Bila dilihat dalam statistik, luas lahan pertanian juga semakin susut dan arus urbanisasi tenaga kerja produktif pedesaan yang lebih tertarik bekerja di kota terus meningkat. Tetapi apakah ekonomi pertanian harus berlalu tanpa bekas? Bila kita renungi, banyak sekali kesenian-kesenian tradisional, upacara adat, bahkan sampai hajatan pernikahan yang terkait erat dengan aktifitas pertanian (musim bercocok tanam sampai ke pasca panen memiliki makna religius dan sosial kemasyarakatan yang sangat unik). Desain alat pertanian yang jenius, lagu-lagu tentang alam, sistim irigasi yang unik, semua adalah bentuk dari kearifan budaya tradisi pertanian yang mengakar sangat dalam pada masyarakat Indonesia, dan jejak itu tetap melekat secara budaya maupun perilaku, terpatri (embedded) didalam DNA bangsa Indonesia.
  2. Industri: Jumlah tenaga kerja yang sangat besar dan murah serta ketersediaan kawasan industri yang juga melimpah menjadi daya tarik negara-negara maju untuk merelokasi industrinya ke Indonesia. Indonesia juga belum sampai pada pencapaian efisiensi industri yang menggembirakan dikarenakan permasalahan energi yang belum sepenuhnya tertanggulangi dengan baik.
  3. Informasi: Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari informasi. Saat ini pemerintah masih terus berupaya meningkatkan taraf pendidikan rakyat Indonesia. Sekolah-sekolah Tinggi dan Kejuruan masih didominasi di kota-kota besar/Ibukota profinsi. Dari sisi teknologi informasi, jumlah satuan daya sambung telepon dan penetrasi sambungan Internet masih akan terus berkembang karena pada saat ini masih terkonsentrasi terbesar di Jawa dan wilayah Indonesia Bagian Barat.
  4. Kreatif: Tanpa disadari, peradaban Indonesia dan warisan budayanya sangatlah tinggi dan telah berlangsung berabad-abad yang silam. Bukti supremasi peradaban Indonesia bisa dilihat dari warisan produk budaya Indonesia seperti kecanggihan enjiniring pada Borobudur, teknik pembuatan kapal, beladiri tradisional, tari-tarian, alat musik, senjata tradisional, pengobatan tradisional, sandang, dan masih banyak lainnya.
Ironisnya, kadang kita bangsa Indonesia lupa dan tidak menyadari kebesaran warisan budayanya dan ikut tergerus arus trend yang diciptakan oleh dunia Barat melalui Globalisasi , akhirnya bangsa Indonesia terbuai oleh budaya konsumerisme Barat yang hanya melihat Indonesia sebagai segmen pasar yang besar. Juga, disana sini terjadi penyerobotan budaya Indonesia oleh negara tetangga. Dibutuhkan upaya yang sitematis dan terencana dalam mensikapi keunikan yang dimiliki Indonesia ini, karena bila tidak terencana, upaya pengembangan warisan budaya Indonesia ini hanya akan membawa bangsa Indonesia kedalam dunia Romantisme dan Nostalgia yang tidak membawa faedah dalam berkompetisi di era ekonomi kreatif versi sekarang (abad 21). Mengapa saya ungkapkan kata-kata romantisme dan nostalgia? Agar kita semua tergugah, merasa bangga dan sekaligus merasa perlu berbuat sesuatu.

Perlu disadari bahwa pergeseran-pergeseran orientasi ekonomi tersebut diatas dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang paling berpengaruh adalah hadirnya fenomena yang tidak bisa diulang kembali (non-reversable). Contoh: Sejak abad ke 15, di Candi Sukuh telah tergambar orang yang sedang mengerjakan keris, lengkap dengan peralatannya. Relief Kapal di Candi Borobudur dan Perahu Pinisi adalah bukti bangsa kita telah mengarungi samudra jauh sebelum munculnya gaya hidup kapal pesiar di Mediterania, atau bahkan sebelum bangsa Viking menguasai samudra. Sungguh dahsyat bukan? Namun, jaman dahulu belum ada listrik, motor bakar, pesawat jet, GPS, internet, SMS dan berbagai perangkat teknologi lainnya. Pada saat teknologi baru hadir, peta persaingan dan ekonomipun berubah dan fenomena tersebut tidak bisa dihapus dan dianggap tidak ada. Ini adalah fenomena yang tidak bisa putar balik kembali. Jadi, yang harus kita lakukan adalah mengenali warisan budaya kita dan berfikir kreatif untuk pengembangannya dalam kontek masa depan.

3T: Talenta, Toleransi dan Teknologi
(silahkan di klik) 3T adalah istilah yang ditawarkan oleh Dr. Richard Florida yang bermaksud menjelaskan faktor-faktor penggerak yang penting dalam penciptaan dan pembangunan industri kreatif disuatu tempat. Menurut Florida adalah tidak cukup bila swasta atau pemerintah berfikir dengan hanya membangun kawasan industri yang canggih maka akan segera tercipta suatu lingkungan yang kreatif. Itu tidak cukup. Dibutuhkan kemampuan untuk melihat penciptaan ekonomi dari beberapa sudut, yaitu dari ekonomi itu sendiri, dari sisi teknologi dan dari sisi artistik & kreatif. Disetiap daerah yang memiliki tingkat ekonomi tinggi, terdapat karakter-karakter yang terdiri dari 3 komposisi ini. Maka dari itu maka Florida menawarkan konsep 3T yaitu Talenta, Toleransi dan Teknologi.
  1. Talenta: Sudah jelas, untuk menghasilkan sesuatu yang berdaya saing, dibutuhkan sdm yang baik, yaitu Talenta. Orang-orang yang memiliki talenta memiliki penghasilan yang tinggi dari gagasan-gagasan kreatifnya. John Howkins menyebut mereka sebagai orang-orang yang hidup dari penciptaan gagasan dan mengeksploitasinya dengan berbagai cara. Florida mengklasifikasi kelas ini, ada yang bernuansa akademik (universitas), ada yang berorientasi teknologi (tech-pole) ada yang bernuansa artistik (bohemian), pendatang (imigran & warga negara keturunan etnis tertentu) bahkan sampai pada yang bernuansi orientasi sex (gay). Tom Peters bahkan mengatakan dalam seminarnya, dengan gaya yang khas ia mengatakan: bila anda ingin inovatif, gampang saja, bergaulah dengan orang-orang aneh dan anda akan bertambah kreatif. Tapi jika anda bergaul dengan orang-orang yang membosankan, anda akan semakin membosankan juga.
  2. Toleransi: Sebelum era ekonomi kreatif ini teridentifikasi, orang beranggapan bila ingin mendapat pekerjaan sebaiknya pindah kesuatu daerah dimana terdapat pengkonsentrasian kawasan-kawasan industri (Aglomerasi). Mungkin itu tetap benar. Namun jaman juga mengalami perubahan. Florida mengatakan bahwa saat ini lapangan pekerjaan akan tercipta di tempat-tempat dimana terdapat konsentrasi yang tinggi dari para pekerja kreatif, bukan kebalikannya. Mengapa, mudah saja, orang-orang yang memiliki talenta tinggi memiliki daya tawar yang tinggi, mereka memiliki banyak alternatif karena permintaan tinggi. Bila mereka ditawari pekerjaan didaerah-daerah yang sepi dan membosankan, mereka cenderung akan menolak, maka yang lebih berkepentingan adalah user dari pekerja kreatif ini dan user akan mengalah, asalkan mereka mendapat SDM yang berkualitas. Bahkan juga dengan adanya internet, pekerja-pekerja bahkan tidak perlu masuk ke kantor, cukup bekerja jarak jauh baik di cafe maupun di rumah-rumahnya. Tom Peters kembali membuat analogi seperti ini: bayangkan anda membangun sebuah stadion olah raga yang sangat canggih disuatu kota, tapi tidak ada kelompok sepak bola yang handal dikota itu. Apakah penonton akan datang ke kota tersebut untuk melihat pertandingan yang tidak bermutu? Tentu tidak. Apa hubungannya dengan Toleransi? Ini berkaitan dengan iklim keterbukaan. Bila suatu daerah memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap gagasan-gagasan yang gila dan kontroversial, serta mendukung orang-orang yang berani berbeda, maka iklim penciptaan kreatifitas dan inovasi akan semakin kondusif, karena pekerja kreatif dapat bebas mengekpresikan gagasannya. Termasuk dalam toleransi adalah kemudahan untuk memulai usaha baru dan ketersediaan kanal-kanal solusi finansial untuk mengembangkan bisnis.
  3. Teknologi. Teknologi sudah menjadi keharusan dan berperan dalam mempercepat, meningkatkan kualitas dan mempermudah kegiatan bisnis dan bersosial. Dewasa ini semakin banyak pekerjaan manusia yang digantikan oleh teknologi membuat manusia sebagai operatornya memiliki lebih banyak waktu untuk memikirkan gagasan-gagasan baru. Jika pernyataan ini saya balik, maka menjadi demikian: semakin manusia direpotkan oleh aktivitas fisik dan tidak dibantu oleh teknologi, maka sebagian besar waktu manusia akan habis terbuang untuk urusan teknis. Dalam arti lain: teknologi menunjang produktifitas. Dengan demikian, kemudahan mengakses dan membeli teknologi, transfer teknologi adalah faktor penting dalam pembangunan ekonomi kreatif. Contoh dalam penggunaan perangkat lunak. Bagi Negara berkembang seperti Indonesia, pembelian lisensi perangkat lunak adalah suatu kendala besar karena harga perangkat lunak di Jakarta masih relatif sama dengan harga di New York. Tentu dirasakan mahal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Biaya mengakses internet di Indonesia juga masih dirasakan terlalu tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Ini adalah faktor penghambat kelancaran lahirnya industri-industri baru.

Usulan Agenda untuk Indonesia:

Jadi, telah jelas bahwa realitas dan fenomena ekonomi kreatif sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi Indonesia yang telah terbukti memiliki aset kreativitas sejak dulu. Indonesia tidak kekurangan modal kreatifitas hanya kekurangan kemampuan mengintegrasikannya. Untuk itu langkah-langkah yang dibutuhkan adalah: Mengenali apa yang kita miliki (jati diri bangsa dan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia) dan menyusun langkah-langkah konstruktif sebagai berikut:

  1. Menyusun Cetak Biru Ekonomi Kreatif Indonesia yang melibatkan seluruh Stake Holder.
  2. Mengajukan usulan kebijakan Ekonomi Kreatif yang konprehensif
  3. Menggiatkan inisiatif, baik swasta maupun Pemerintah untuk menciptakan tempat-tempat pengembangan talenta industri kreatif didaerah-daerah
  4. Menciptakan produk & jasa yang kreatif dan berbasis budaya berdasarkan prioritasnya, misalnya:
    - Pariwisata
    - Kerajinan
    - Gaya Hidup (spa, herbal, kulinari)
    - Furniture, dll
  5. Menciptakan pasar berbasis budaya didalam negeri karena selama ini selalu menjadi target pasar dari negara lain
  6. Menumbuhkan semangat invovasi dan kreativitas didalam dunia pendidikan agar generasi muda mampu melahirkan gagasan baru berdasarkan apa yang sudah dimiliki sejak dulu
  7. Transfer teknologi yang konsisten terhadap industri kreatif berwawasan budaya seperti disebut diatas
  8. Meningkatkan pendapatan devisa berbasis kreatif atas sektor-sektor tersebut diatas
  9. Promosi Potensi Indonesia
    - Alam
    - Warisan Budaya (herritage)
    - Budaya
  10. Sosialisasi, diseminasi dan promosi secara sistimatis tentang kekuatan Indonesia dibidang Industri kreatif agar diperhitungkan di Peta kompetensi Dunia.Tentu saja agenda yang diutarakan disini barulah sebuah insights untuk pembangunan ekonomi kreatif di Indonesia.

Dibutuhkan peran Aktif Pemerintah dalam membangun secara konsisten dan berkesinambungan paling tidak untuk 10 - 20 tahun mendatang. Bagaimana menurut anda? Silahkan komentar.