....

No idea exists in a vacuum. It is connected to related ideas, and to the real world, and to other people’s perspectives. Those connecting threads of context are where the vast creative potential of the human mind lies.

Minggu, 22 Juli 2007

HKI Sebagai Daya Saing, Bagaimana Kesiapan Indonesia?

Memulai artikel ini saya ingin mengutip kembali kata-kata John Howkins; Ekonomi Kreatif adalah suatu aktivitas penciptaan dimana inputnya adalah Gagasan dan outputnya juga Gagasan. Jadi Gagasan adalah suatu yang sangat dijunjung tinggi didalam era ekonomi kreatif ini. Kembali menurut John Howkins, Ekonomi kreatif adalah transaksi dari hasil kreasi produk-produk kreatif. Biasanya ada 2 macam nilai disetiap transaksi: nilai yang tak kasat mata, HKI dan nilai benda kasat mata. Dalam suatu industri seperti misalnya perangkat lunak digital, nilai HKInya lebih tinggi. Di industri lain seperti seni, harga suatu objek secara fisik lebih tinggi. Jadi, salah satu peran penting dalam Ekonomi Kreatif adalah pemaksimalan HKI sebagai daya saing.



Berkenalan dengan HKI
Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat terbagi dalam dua kategori yaitu: Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Sedangkan Hak Kekayaan Industri meliputi Paten, Merek, Desain Industri,Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman. (sumber: website DitJen HKI)

Kesiapan Indonesia
Bagaimana kesiapan Indonesia dalam hal ini? Kebanyakan masyarakat/pekerja kreatif di Indonesia tidak terlalu paham mengenai manajemen HKI. Kadang masyarakat kreatif terlalu berlebihan dalam menempatkan HKI, sehingga segala sesuatu ingin di proteksikan. Bila tidak cermat, mendaftarkan segala sesuatu malah dapat membuat tidak efisien, disamping karena membutuhkan waktu dalam meregistrasi,untuk produk ekspor maka kita juga harus mendaftarkan desain tersebut dinegara tujuan ekspor. Ini tentu akan menyulitkan dan menghabiskan uang. Jadi, permasalahan HKI bukanlah sekedar memikirkan proteksi semata, namun juga secara cermat memahami situasi pasar. Howkins memberi saya inspirasi yang saya gambarkan dengan ilustrasi dibawah ini:
  1. Tahapan 1,2,3,4 tentu harus dipahami secara menyeluruh, namun kadang-kadang terdapat situasi dimana seorang pemilik gagasan tidak harus melewati ke empat-empatnya secara lengkap.
  2. Box 1 & Box 4 (merah) berarti (menurut saya) seorang pekerja kreatif tidak harus meregistrasi karya/produk mereka, ini disebabkan karena produk yang dihasilkan lifecycle-nya rendah, dan sangat ditentukan oleh bentuk fisiknya. Misalkan benda-benda kerajinan dari rotan, yang akan berubah mode dalam 3 bulan. Meregistrasi benda-benda seperti ini hanya akan menghabiskan uang dan menghilangkan peluang dominasi pasar hanya karena menunggu proses registrasi selesai.
  3. Box 2 dan Box 3 (hijau) berarti (menurut saya ) adalah kegiatan manajemen HKI yang lebih lengkap. Alasannya adalah karena produk yang dihasilkan sangat obyektif dan tidak kasat mata, misalnya perangkat lunak dan multimedia.

Prestasi Paten di Indonesia

Di Indonesia dan kebanyakan negara-negara Asia lainnya (selain Cina, India, Korea dan Jepang) masih sangat sering dijumpai pembajakan-pembajakan HKI. Apakah ini berarti orang Indonesia kurang menghargai HKI? Pertama-tama saya butuh bukti empiris untuk memulai analisa kita. Mari kita lihat data Paten dari DitJen HKI Indonesia sebagai berikut:

Selama 13 tahun permohonan paten lokal yang disetujui hanya sekitar 1.15%

dibandingkan dengan permohonan Paten Luar Negeri






Paten Lokal Sepi, DitJen HKI Bertahun-tahun Hanya Sibuk Melayani Paten Orang Asing


Berdasarkan fakta-fakta dari DitJen HKI ini, jelas sudah bahwa masyarakat Indonesia masih sangat rendah kesadarannya dalam masalah Paten ini. Namun ada sedikit obat pelipur lara. Dari berbagai sumber yang saya temukan, ternyata permohonan paten dari dalam negeri masing-masing negara anggota ASEAN lainnya ternyata juga masih sedikit dibandingkan permohonan paten yang berasal dari luar negeri. Berikut ini adalah data tahun 2000:
  1. Thailand: 615 paten & desain lokal : 3874 paten asing. Paten & desain lokal sekitar 15%.
  2. Singapura: 624 paten & desain lokal : 8070 paten asing. Paten & desain lokal sekitar 7%.
  3. Malaysia, 322 paten & desain lokal : 4937 paten asing. Paten & desain lokal sekitar 6%.
  4. Indonesia: 228 paten & desain lokal : 4048 paten asing. Paten & desain lokal sekitar 5%

Melihat gejala ini, saya mensinyalir bahwa negara-negara di Asia kecuali Jepang, Cina, Korea dan India telah merasa nyaman untuk menjadi konsumen saja. Semangat dan hasrat untuk menciptakan inovasi sangat rendah, padahal bangsa Asia kebanyakan memiliki aset-aset budaya yang sangat tinggi yang seharusnya dapat diekplorasi dan diekploitasi menjadi sumber-sumber ekonomi baru. Gejala ini perlu disikapi secara serius.

Hal yang menarik, saya temukan bahwa pada tahun yang sama (2000), paten lokal yang didaftarkan di dua negara maju yaitu Belanda hanyalah sebesar 5,76% dan di Kanada hanyalah sebesar 7,69% .

Belanda ada di peringkat 9 dan Kanada ada diperingkat 16 dalam Peringkat Daya Saing Dunia 2006-2007 versi World Economic Forum. Indonesia ada di peringkat 50 (naik 19 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya). Melihat fakta di Belanda dan Kanada, saya cukup optimistik bahwa penemuan paten-lokal-baru bukan segala-galanya dalam menciptakan daya saing suatu negara. Ini menimbulkan ide, bila paten lokal sangat minim, bagaimana dengan HKI Tradisional, mungkin dari situ ada yang bisa kita patenkan? Alangkah baiknya bila bangsa Indonesia mulai menginventarisir HKI tradisional yang telah ada sejak berabad-abad yang silam. At least, warisan budaya tersebut telah jelas terbukti mampu memperlihatkan keunikannya. Sejenak menengok pada warisan budaya tradisional kita yang bernilai HKI, Dr Agus Sardjono, pengamat HKI dari FHUI mengutarakan bahwa proteksi HKI bisa dilakukan kepada warisan budaya tradisional. Didunia Hukum disebut Negative Protection. untuk penemuan modern disebut Positive Protection. Apabila Indonesia merasa ada warisan budayanya yang diserobot oleh negara lain, Indonesia masih memiliki hak untuk mengklaim kembali hak tersebut. Contoh negara yang sangat rajin mengklaim kembali HKI Tradisionalnya adalah India. India sangat rajin mengklaim masalah ramuan-ramuan tradisionalnya yang banyak diserobot oleh negara lain. Salah satu sarat agar dapat mengklaim adalah bukti bahwa warisan budaya tersebut masih secara aktif berlangsung di negara asalnya. Misalnya Keris, Indonesia memenangkan klaim Keris atas Malaysia karena di Indonesia masih ada empu-empu yang aktif membuat keris sedangkan Malaysia sudah tidak ada.

Kembali ke Belanda dan Kanada, saya berpendapat, kemungkinan bahwa negara-negara ini mampu tetap mampu menduduki peringkat cukup tinggi walau tidak produktif menghasilkan paten lokal adalah:

  1. Kemampuan mentransfer teknologi secara independen. Menurut saya, transfer teknologi yang sebenarnya adalah kemampuan memahami teknologi tertentu yang bukan miliknya tetapi kemudian mampu menciptakan efisiensi biaya dan waktu serta mengurangi ketergantungan dengan pemberi teknologi tersebut. Output akhir adalah produk-produk berlabel baru. Kenyataanya di Indonesia, walaupun terjadi transfer teknologi, namun industri di Indonesia kurang dapat melepaskan diri dari sang pemberi teknologi, dalam arti kata lain, industri-industri di Indonesia masih berorientasi sebagai tukang jahit dari Prinsipal Asing. Sehingga, walaupun teknologi mampu dikuasai, namun segala aktivitas yang dilakukan adalah demi menghasilkan benefit ekonomi terbesar bagi Prinsipal. Nilai ekonomi bagi Industri lokal tetap rendah. Itu baru dari Industri Besar. Di sektor UKM, survey juga memperlihatkan bahwa paten lokal yang dihasilkan oleh UKM lebih rendah dibandingkan dengan paten lokal yang dihasilkan oleh Industri Besar. Statistik tentang UKM ini mungkin ada benarnya karena UKM di Indonesia 40% didominasi oleh usaha-usaha makanan yang relatif tidak terlalu tergantung pada paten.
  2. Toleransi/Creative Diversity: Setelah membaca point 1, telah terbayang kawasan-kawasan industri tukang jahit bertebaran di seluruh penjuru Indonesia, tentu saja Low Skilled Labour. Dengan demikian, akankah pengelola kawasan industri dan investor asing/Prinsipal akan mau repot-repot menciptakan kawasan industri yang menunjang iklim kreatifitas? pendidikan? Tentu saja tidak. Belum lagi suasana demo dari para buruh-buruh kasar yang sering terjadi. Disinilah tantangan bagi Otorita Kawasan Industri serta Pemerintah Daerah untuk segera memberikan pembenahan yang holistik, agar kawasan-kawasan yang sudah ada tersebut dapat menarik minat lebih banyak lagi talenta-talenta kreatif yang mampu memberi nilai tambah bagi produk-produk yang dihasilkan ditempat itu, sehingga mampu meningkatkan taraf hidup pekerja-pekerja yang hidup disana. Belanda, juga dikenal sebagai negara yang sangat toleran dengan gaya hidup tertentu. Bukan berarti permisif, namun Belanda mampu mengaturnya dengan baik.
  3. Jaringan Internasional. Singapura yang berada di peringkat 5 dalam Peringkat Daya Saing Dunia, adalah contoh baik dalam hal Internasionalisasi. Belanda dan Singapura juga dikenal sebagai tempat yang nyaman untuk bertransaksi produk-produk komoditas dunia. Konon, harga komoditi CPO, karet, kokoa, dan rempah-rempah asal Indonesia sangat dipengaruhi oleh transaksi-transaksi di negara-negara ini. Dengan tingkat permohonan Paten lokal di tahun 2ooo hanya 7%, lebih rendah dari Thailand (15%) Singapura mampu menempati peringkat 5 dunia (2006-2007). Kepercayaan Dunia untuk menaruh investasi di Indonesia adalah hal yang penting dalam meningkatkan daya saing Indonesia.

Meneliti prestasi HKI Indonesia saat ini dari sudut pandang produktifitas Paten, rasanya jalan masih panjang untuk menjadikannya salah satu ujung tombak dari Ekonomi Kreatif Indonesia. Namun, saya mencoba mengungkapkan bahwa masih banyak jalan lain menuju Roma, salah satunya adalah dengan mulai menginventarisir Warisan Budaya Indonesia, kemudian menjadikannya inspirasi-inspirasi untuk membuat sesuai yang inovatif walaupun tidak mutlak suatu kebaruan (novelty), atau bahkan mengapa tidak bila menengok ke industri Pariwisata. Apabila Ekonomi Kreatif didefinisikan sebagai kegiatan yang input dan outputnya adalah gagasan, mengapa tidak jika menelorkan gagasan kreatif dibidang pariwisata. Pariwisata yang saya maksud bukan semata-mata pariwisata konvensional secara sempit, namun bisa juga menjadi industri terintegrasi yang melibatkan industri transportasi (industri Yacth misalnya), jasa travel, hotel (properti yang kreatif), kuliner (propaganda makanan Indonesia ke LN), film (National Geographic Channel & Discovery Channel ala Indonesia), musik (ethno-kontemporer) dan lain sebagainya. Silahkan komentar.

Tidak ada komentar: